Kamis, 31 Desember 2009
Abdurahman Wahid (Gusdur)
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur
kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh
muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng
Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu
Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia
kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat
tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat
perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada
masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua
pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya
tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang
menggunakan foot note.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya,
K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan
menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan
menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan
kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur
terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo,
Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren,
kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada
tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren
Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai
wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan
perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik
dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur
semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan
kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap
'menyimpang'-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus
pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri
dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun
1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa
al-'aqdi yang diketuai K.H. As'ad Syamsul Arifin untuk menduduki
jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan
tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak
Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan
ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI
ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak
hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin
yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa
Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh
K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang
patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum
Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang
terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non
muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan
menuduh organisai kaum 'elit Islam' tersebut dengan organisasi
sektarian.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran
betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti
kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan
latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan
pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus
Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang
tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler.
Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang
santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang
terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para
pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan
radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama
diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter
keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara
pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan
berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif,
simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang
kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para
pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek
prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan
membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur.
Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma'shum dari
Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur
menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari
segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama,
Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat
hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua,
dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang
liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan
membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh
membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan
dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu
kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan
luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas
tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.
Gus Dur menghembuskan nafasnya yang terkhir di RSCM pada tanggal 30 Des 2009 sekitar pukul 18.45 WIB akibat komplikasi penyakit yang dideritanya.
(fauzibowo.com;kompas.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar